So Do You Wonder Where The Extra 2 Pills Went?
An ojek driver was caught carrying 998 ecstasy pills by the police in a spot check in North Jakarta.Perhaps he wasn’t riding in a straight line? No, that can’t be it, since most motorcyclists in Jakarta don’t ride in a straight line anyway.
Don’t Wash Your Feet In The Sink
But if you really must, use the soap!
Free Helmets = Safety Awareness?
This is smart! Rather than hounding motorcyclists at every corner, the police simply distributed free helmets. Well, it sort of feels like handing our condoms without sex education, but at least it’s a step in the right direction.Then again, you never know if the free helmets aren’t left at home or sold.
Water-No-Ways
In a somewhat signature act of far-flung vision with terrible planning, the outgoing governor, Sutiyoso, launched the city water taxis in June 2007, spending Rp 200 billion on the facilities with a pilot project serving a 1.7 km route with two 28-person boats. So where is it now?The first few trips failed when, among others, garbage got stuck in the boat’s rotors. This, and not to mention that apparently not all of Ciliwung River can be dredged to serve such a water transport service.So Rp 200 billion and ambition = nothing happening.
#IndonesiaUnite, Kenapa Nasionalisme, Kenapa Sekarang?
Untuk beberapa kalangan, terutama di kalangan pengguna Twitter di Indonesia (dan terutama di Jakarta), gaung #indonesiaunite masih sangat terasa, dan bahkan sudah membuahkan berbagai kegiatan dan berpuncak pada pendeklarasian Amanat Bersama tanggal 16 Agustus kemarin. Kalau mau baca lebih rinci sih, lebih baik ke website indonesiaunite.com karena sudah cukup jelas.
Gerakan ini berpegang pada prinsip bahwa #indonesiaunite ‘hanya’ sebuah semangat, dan tidak akan diformalkan ke dalam sebuah organisasi atau struktur lain. Hal ini pernah juga saya bahas pada blog posting ini beberapa minggu lalu, yang pada intinya menekankan kekuatan #indonesiaunite terletak justru pada sifatnya yang crowdsourcing (belum ada padanan Bahasa Indonesianya nih) dan menyebar secara viral. Untuk yang memperhatikan, sangat terlihat bagaimana semangat #indonesiaunite menyebar secara viral ke berbagai kalangan.
Tapi masih banyak juga kalangan masyarakat yang tidak tahu-menahu mengenai gerakan ini, berhubung informasi mengenai #indonesiaunite praktis lebih banyak menyebar pada kalangan pengguna internet, yang notabene masih relatif belum banyak di Indonesia. Banyak juga kalangan yang tidak peduli karena lebih peduli ke hal lain, apapun itu. Ada juga pihak-pihak yang skeptis, mengatakan bahwa gerakan ini omong kosong belaka, atau mempertanyakan kenapa baru nasionalis setelah ada serangan bom. Bentuk nyatanya apa? tanya mereka.
Adapun kalangan yang baru belakangan tahu mengenai #indonesiaunite, dan pertanyaan mereka pertama adalah “siapa sih yang bikin?” yang agak sulit dijelaskan tanpa menjelaskan Twitter itu apa, ha ha. Pada awalnya pihak media pun masih salah kaprah dengan menilai bahwa #indonesiaunite adalah gagasan satu atau beberapa orang, bukan secara crowdsourcing (yang memang relatif baru di Indonesia). Tapi mudah-mudahan fakta penting mengenai #indonesiaunite ini akan menyebar seiring meningkatnya pemahaman orang mengenai media sosial seperti Twitter dan Facebook.
Nah, saya ingin mencoba memahami sekaligus menawarkan jawaban untuk kalangan-kalangan yang saya sebut di atas.
Generasi saya besar di masa Orde Baru, yang notabene penuh dengan doktrin-doktrin PMP dan P4 dan GBHN dan mahluk-mahluk singkatan hapalan lain, yang seolah disuntikkan ke dalam kepala kita sejak SD. Karena memang pola pendidikannya doktrin, bukan pemahaman, jadi banyak dari kita seolah menolak pendidikan ini. Masuk kuping kiri, keluar kuping kanan, yang mungkin berlaku untuk hampir semua mata pelajaran lain selama SD sampai SMA. Kuncinya di sini: karena PMP dan P4 esensinya sangat kuat pada cinta bangsa dan negara, jadi ada bagian dari kita seolah-olah menolak untuk merasakan hal ini. Efeknya? Kalau ada orang yang beneran cinta bangsa dan negara, dianggap aneh. Ada juga hal lain yang penting dalam P4 yang seperti ‘ditolak’ oleh kita: menghargai hasil karya orang lain.
Padahal sebenarnya, rakyat kita cinta bangsa dan negara kok. Tapi terkadang malu mengungkapkan, kecuali dalam perayaan 17 Agustus, dalam bentuk menjadi panitia atau semacamnya – atau hal-hal kecil lain. Begitu ada yang bicara soal negara, otomatis dianggap mau berpolitik, baik itu di masa Orde Baru maupun setelahnya. Hampir-hampir, kita sampai pada sebuah situasi di mana orang yang terlihat cinta bangsa dan negara hanya para politikus (yang mungkin saja lebih cinta kepentingan kelompoknya), dan para atlit nasional dan daerah (pahlawan modern tanpa tanda jasa).
Susahnya lagi, perseteruan tingkat atas politik dan pemerintahan soal negara membuat makin banyak orang kehilangan kepercayaan terhadap negara, terlebih lagi dengan adanya stigma bahwa pemerintah tidak melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik (yang mungkin adalah pendapat subyektif, karena terkadang yang kita lihat hanya jeleknya saja).
Lagi-lagi, tetap saja, rakyat Indonesia cinta bangsa kok. Negara mungkin nomer dua. Cuma karena masih ada persepsi bahwa membicarakan bangsa atau negara adalah hal yang sama, lantas pembicaraan nasionalis cenderung terbungkam, terutama dengan naiknya konteks-konteks berbau agama dalam wacana pemikiran nasional. Ini adalah strike three, kalau meminjam istilah baseball – nasionalis dianggap sekular, yang dalam persepsi banyak orang Indonesia, berarti tidak beragama (padahal berarti pemisahan urusan negara dan agama belaka). Padahal, sebagai negara yang 99,99% penduduknya memeluk agama, kita tetap bisa nasionalis tanpa melupakan agama.
Terkena tiga kali sekalipun, rakyat kita masih ada yang berjiwa nasionalis – pahlawan tanpa tanda jasa yang lain adalah generasi entrepreneur – apapun bidangnya – yang dengan caranya sendiri memajukan Indonesia, langkah demi langkah.
Serangan bom demi serangan bom terjadi di Indonesia, yang membuat banyak rakyat bingung dan marah. Ya, betul, pada tiap serangan bom yang sebelum 17 Juli 2009, rakyat Indonesia bingung dan marah, hanya saja energi kemarahan itu seperti ditelan masing-masing, hanya terungkap lewat berbagai tulisan dan karya, yang tidak terhubung.
Bedanya dengan kejadian tahun ini? 4 tahun lalu, Twitter bahkan belum ada. Belum ada istilah Social Media, dan orang masih sibuk mengumpulkan testimonial Friendster. Di tahun 2009, media Twitter menjadi penghubung berbagai orang dari berbagai kalangan yang mengungkapkan kekecewaan dan kemarahan atas serangan 17 Juli 2009. Dan dari media ini, muncul semangat bersama-sama untuk menjadikan Indonesia lebih baik – dan menyatakan Tidak Takut pada aksi terorisme – dalam bentuk #indonesiaunite.
Jadi jawaban judul artikel ini, kenapa nasionalisme, kenapa sekarang apa? Jawabannya adalah: nasionalisme sudah ada dari dulu, tapi tidak bisa keluar. Karena terpancing kemarahan, semangat melawan terorisme dan semangat membuat Indonesia lebih baik, para pengguna Twitter ini menemukan bahwa ternyata banyak yang memiliki semangat yang sama, sehingga lahirlah #indonesiaunite.
Dan timbullah sesuatu yang mungkin sangat unik di Indonesia, mungkin di dunia – sebuah semangat tanpa organisasi, yang bebas diterjemahkan oleh para pendukungnya sejauh sesuai semangat yang sudah dituangkan dalam Amanat Bersama. Semangat yang sengaja tanpa organisasi supaya dapat inklusif ke berbagai pihak, dan sebuah gerakan yang relatif tanpa pemimpin dan tokoh supaya dapat melintasi batas-batas idealisme dan ego masing-masing orang.
Jadi untuk yang belum tahu soal #indonesiaunite, mungkin tidak terlalu penting untuk tahu, sejauh semangatnya sama.
Untuk yang tidak peduli, sekarang saatnya untuk peduli! Masa depan bangsa ini tidak ditentukan oleh pemerintah. Kita yang menentukan.
Untuk yang skeptis, jangan malu untuk merasakan cinta bangsa dan negara.
Dan untuk yang masih belum sepenuhnya memahami esensi #indonesiaunite, mudah-mudahan artikel ini bisa membantu. Untuk “ikut” #indonesiaunite, tidak perlu daftar apa, ke sekretariat apa, atau apapun yang lain. Tinggal berkarya untuk Indonesia.
Selamat berjuang!
Ayo Kita Gebug Teroris
Courtesy of @yonaa.
Merdeka!
Today, is the commemoration of 64 years of independence for Indonesia (well, a lot of you reading this might already know this). This year, it’s a bit different, you can feel it – the energy of patriotism and nationalism burns bright today. And from today, Indonesians will work to create a better country and nation for themselves, and transcend differences in race, tribe, religion, special interests, social strata, income levels, or political affiliations. Well, maybe not exactly everybody, but the spirit is there.Plis Deh Jakarta endorses #indonesiaunite and the Common Mandate declarated last night at Rolling Stone Live Venue, Kemang, and several other cities. We hope Indonesia will get better and better, up to the point this blog will have to find something else to write about.Merdeka!
But We Practice This Circus Act Every day
A family of four on a motorcycle whizzing through the streets of Jakarta on Thursday. (Photo: Afriadi Hikmal, JG)