Menelaah Kembali Kontroversi e-KTP
Persoalan e-KTP kembali mencuat semenjak Menteri Dalam Negeri mengumumkan perihal moratorium untuk penerapan e-KTP di Indonesia, dengan salah satu alasan “servernya di luar negeri”. Walaupun masih belum ada bukti nyata bahwa ada server di luar negeri, namun entah kenapa hal ini jadi cukup menonjol. KPK juga mencatat bahwa pengadaan jenis chipnya juga harus diteliti, “apakah open source atau monopoli”.
Pembicaraan gue kemarin malam dengan seorang wartawan yang bertanya-tanya soal teknologi RFID karena peran gue di Wooz.in, membuat gue ingin meneruskan beberapa pemikiran dan pendapat soal isu e-KTP ini (lagi), menambahkan ke artikel yang pernah gue tulis tahun lalu:
- penulisan e-KTP, kenapa huruf “e”nya harus kecil sih? Iya ini nggak penting.
- Sebenernya isu soal servernya di luar negeri kek, di dalam kantor RT kek, atau di Saturnus, harusnya tidak menjadi isu. Tapi keamanan data – kontrol terhadap siapa yang bisa akses, dan siapa yang tidak bisa akses – yang menjadi utama. Isu server ini seharusnya tidak berpengaruh terhadap e-KTP sebagai teknologi idenfitikasi. Memang satu rantai, tapi letaknya server ini bukan sesuatu yang membuat e-KTP itu menjadi tidak berfungsi.
- Gue kurang faham dengan pernyataan bahwa chipnya “open source atau monopoli”. Buat gue, software maupun hardware open source atau closed source itu keduanya ada baik buruknya, tapi kalau sebuah teknologi chip seperti RFID patennya masih dipegang oleh satu pihak, bukannya memang ujung-ujungnya monopoli ya? Kalau KPK melihat prinsip seperti itu, ya sebentar lagi Samsung akan ditangkap KPK karena teknologi displaynya dipakai di berbagai produk, bahkan selain produk Samsung. Kerentanan terhadap korupsi karena monopoli ya memang ada, tapi kan itu masalah pengawasan, bukan prinsip.
- Di Jerman sudah ada penerapan sejenis e-KTP yang aplikasinya sudah cukup bagus – bisa digunakan untuk konfirmasi transaksi online. Dengan arsitektur sistem yang baik, seharusnya penerapan e-KTP bisa mempermudah hal-hal kecil dalam hidup kita yang sebenarnya cukup mengganggu, seperti: daftar tamu ke gedung perkantoran, pendaftaran pasien ke rumah sakit (mungkin bisa dikaitkan dengan database kesehatan nasional, beserta status BPJSnya), urusan kependudukan apapun di kantor pemerintah, verifikasi pengambilan hadiah undian, dan berbagai kegunaan yang lain. Mungkin ada pihak yang merasa takut kalau informasi pribadi sebanyak itu di bawah kontrol pemerintah, tapi bukankah kita sudah membiarkan data pribadi kita dikuasai pihak asing?
- Sweden juga mempunyai program sejenis e-KTP. Dan penerapan teknologinya sebenarnya sama dengan paspor dengan chip untuk autogate.
Gue setuju banget bahwa program e-KTP di Indonesia sepertinya banyak ketidakjelasannnya. Tapi yang tidak jelas di sini adalah penerapan teknologinya, baik chip yang dipakai, kebijakan datanya seperti apa, struktur arsitektur informasinya seperti apa, sampai penunjukan suppliernya seperti apa. Teknologinya sendiri, baik konsep, prinsip, aplikasi dan keamanannya, sudah ada standarnya dan best practicenya. Dan apabila diterapkan dengan baik, pastinya bisa membuat banyak hal kecil di kehidupan warga Indonesia lebih mudah.
Bacaan lebih lanjut soal penggunaan kartu jenis RFID (atau RF-enabled smart card) ada di sini.