RI70 vs SG50, Dan Kita
Karena toh tetanggaan dan toh udah banyak orang Indonesia yang menyebut Singapura sebagai rumah (kedua maupun pertama, tidak masalah), mau tidak mau sempat ada beberapa perbandingan antara perayaan di sekitar peringatan kemerdekaan Singapura yang ke-50, bertagar #SG50, dengan peringatan kemerdekaan Indonesia, bertagar #RI70, yang datang seminggu setelahnya.
Banyak yang bilang bahwa perayaan SG50 gaungnya terasa di mana-mana; ada berbagai program perayaan yang jelas, sampai-sampai ada set Lego (atau lego-legoan) khusus peringatan SG50 yang dibagikan gratis bagi semua anak di Singapura. Semua tampak rapi, terencana, terstruktur, seperti layaknya apapun yang dikerjakan Singapura. Juga jelaslah bahwa pemerintah menjadi pendorong utama akan semua kegiatan-kegiatan ini.
Nah, perbandingan datang saat RI70 muncul dengan logo (yang cukup memancing perdebatan di kalangan para desainer; ada yang suka dan ada yang nggak), sampai tanda tanya dari masyarakat Indonesia sendiri, kita ngerjain apa? Ada program apa? Apakah lagi-lagi upacara bendera “doang” lagi?
Kalau pertanyaan tersebut ditujukan terhadap apa yang dilakukan pemerintah, ya cukup wajar, karena selain upacara seperti biasa, gue pun sampai saat ini nggak tau ada program apa lagi. Tapi itu salah gue sih.
Yang menarik, perayaan RI70 tetap meriah di area-area pemukiman. Tetap ada berbagai lomba, tetap ada berbagai keseruan lain, yang semuanya dilakukan secara mandiri dan swakarsa. Dari warga untuk warga, untuk kesenangan semua.
Mungkin inilah sebenarnya perbedaan yang hakiki antara Indonesia dan Singapura. Kita emang nggak punya pemerintah yang “sekuat” Singapura, lha ya kepulauannya sebesar ini. Ukuran Jakarta aja kadang nggak masuk akal di gue, apalagi Indonesia. Perayaan RI70 toh tetap ramai dan menyenangkan karena ya warga yang berpartisipasi, bukan mengandalkan “program” dari pemerintah saja. Bangsa kita ya berdiri di atas kekuatan rakyatnya, bukan hanya ditopang oleh pemerintah dan atau elit politiknya saja.
Bayangkan kalau saja kesadaran bahwa peran serta kita dalam bernegara begitu penting. Bayangkan saja kalau kesadaran kita bernegara dengan baik itu bisa melebar dari merayakan hari kemerdekaan, tapi juga masuk ke hal-hal yang susah atau nyebelin, seperti: duh, harus ya buang sampah pada tempatnya. Duh, kalau muterin motor ke arah sana sesuai jalur jadi jauh, terobos jalan satu arah sini aja.
Duh, harus ya melakukan sesuatu yang bukan sekedar cari uang.
Cari uang di Indonesia itu gampang – korupsi. menipu. memanfaatkan keadaan. dan semuanya terjadi. Terjadi karena orang-orang yang berbuat tidak memikirkan bernegara dengan baik, malah memanfaatkan. Permainan penuh uang ini ya area mereka, tapi bukan berarti rakyat lain lepas dari ketidaktanggungjawaban terhadap negara. Kalau bilang negara tidak berpihak kepada rakyat, negara nggak punya kepastian hukum? Kepastian hukum mulai di jalan raya, ketika orang menyeberang jalan di zebra cross tidak perlu khawatir kesamber motor atau mobil.
Gampang sih nyalahin orang lain – Presiden, DPR, badan pemerintah, pengusaha, jin – atas kegagalan-kegagalan negara kita. Dan emang apa yang kita lakukan rasanya jangkauannya tidak akan pernah selebar apa yang bisa dilakukan oleh sebuah pengelola negara, sehingga seperti otomatis berharap pemerintah yang bertindak. Tapi tidak berarti kita tidak bisa melakukan sesuatu. Kalau ada batu raksasa menghalangi jalan, mau cari temen untuk mendorongnya ke pinggir, atau nunggu pemerintah ngirim traktor? Wong pemerintahnya aja belum tentu tau ada batu itu, kalau kita nggak melapor. Kan lebih cepet dan lebih enak kita bertindak sendiri kan? Selama masih dalam jalur hukum. Jalur hukum pun, ya namanya juga hukum manusia, dapat digugat kalau tidak sesuai dengan kebutuhan.
Utopis memang. Kita yang membentuk negara kita sendiri. Sampah idealisme. Terserah pendapat lu. Tapi gue memilih untuk berpartisipasi sejauh kemampuan dan minat gue, ketimbang apatis sama semuanya, ngomel-ngomel, nyalahin sana sini, sebar-sebar artikel konspirasi, bla bla bla…
Iya, gue marah. Marah karena kita sibuk ngomel. Padahal tagline peringatan kemerdekaan kita aja sederhana, ‘Ayo Kerja’. Jadi, kerja aja yuk. Nanti kalau kerjaannya udah jalan, cari temen yang kerjaannya sama atau saling menunjang, untuk dibuat lebih berdampak lagi.
Good Guy Uber Driver
Jadi ceritanya, Jumat malam saya hendak pulang dari kantor, dan meminta Uber untuk mencarikan mobil untuk mengantarkan saya melalui aplikasi (note: ini konteks penggunaan yang tepat, karena Uber tidak punya armada mobil). Setelah 2-3 kali gagal karena ditolak oleh pengemudi (sigh), satu pengemudi bernama Pak Dian menyanggupi untuk datang menjemput saya dan mengantarkan ke rumah.
Saya membawa tas kerja biasa yang berisi laptop saya, tapi juga membawa satu tas lagi berisi laptop kantor yang hendak saya upgrade OSnya di rumah. Setelah Pak Dian datang, saya pun menaiki Avanza yang dibawanya dengan dua tas tersebut.
Singkat cerita, tas berisi laptop kantor ketinggalan, dan saya pun lupa karena bukan barang bawaan biasa. Dan tidak sadar sampai Pak Dian menelepon saya lebih malam lagi, menanyakan apakah saya ketinggalan laptop.
Baru deh panik. Oh iya, tadi bawa laptop kantor. Setelah Pak Dian mengkonfirmasi sedikit detail soal laptopnya untuk memastikan laptop tersebut punya saya, dia menjanjikan untuk mengantarkan laptop tersebut besok (Sabtu). Setelah bertukar beberapa SMS, akhirnya Pak Dian mengantarkan laptop ke rumah jam sekitar jam 11-12 malam (saya udah ketiduran, tapi karena dia menelepon akhirnya terbangun lagi).
Terima kasih ya Pak Dian, dan pastinya terima kasih Uber juga! Jangan lupa kasih 5 bintang kalau ketemu Pak Dian ya 😀