What I Learned About The Product Cycle From… Ringback Tones
Thoughts from a guy who used to sell them (but didn’t read one book about marketing and products)
A few years ago, I worked for one of the largest recording companies in the world, Universal Music Group, in their offices in Jakarta. I joined in 2004 after little over a year at Soundbuzz, itself an early player in the digital music industry, to help UMG establish a digital business in Indonesia. My title was something along the lines of ‘New Media & Mobile’. I guess it was still new back then, and mobile was basically about selling monophonic ringtones.
I joined Universal at an opportune time — it was around the moment when Telkomsel was starting an odd service called ringback tones. How it works is that the call tune — the sound you hear while your waiting for the person you call to pick up — is replaced with a 30-second snippet of a song. Fresh off running a ringtone production division for Soundbuzz, it still took me a while to digest what the product actually is, because at that time the service wasn’t up.
Read the rest of the original post on Medium.
[Manic Monday] Strategi Produksi Konten Di Era Multilayar
Hari ini, mungkin sudah lumrah untuk kebanyakan orang di daerah urban, dengan koneksi internet yang memadai, untuk menikmati konten dari paling tidak dua layar sekaligus di satu saat. Saat kita berada di meja kerja, mungkin kita sedang berhadapan dengan komputer, tapi partner bisnis kita ngobrolnya via instant messaging di smartphone. Saat kita di rumah, sering sekali kita, sambil menonton film di TV, tetap browsing di HP, laptop atau tablet mengenai film tersebut, atau malah melihat yang lain sama sekali. Di beberapa gedung perkantoran, bahkan ada TV yang menayangkan berita, yang biasanya kita dengarkan sambil tetap melihat HP kita. Kita memang sudah hidup di dunia multilayar.
Mayoritas konten yang kita nikmati melalui layar-layar media digital tersebut ituon-demand, sesuai yang kita inginkan. Hanya dengan semudah memasukkan beberapa kata kunci pencarian di Youtube, kita dapat menonton kucing-kucing menari sepuasnya. Layanan musik seperti iTunes dan Spotify menyediakan lagu apapun yang kita inginkan, dan iBooks atau Kobo menawarkan berbagai buku digital sesuai minat kita. Walaupun memang banyak media masih menawarkan model penyebaran informasi yang distribusinya berkala, dan bukan berdasarkan permintaan, perusahaan-perusahaan media tersebut lambat laun beradaptasi ke basis konsumen yang sudah cenderung bergerak ke on-demand.
Baca selanjutnya di Dailysocial.
Pilih Sendiri Petualangan [Musik]mu
(ini adalah repost dari artikel yang pernah naik di aldosianturi.com, taun 2011 silam, yang mungkin masih relevan).
Saya (ceritanya) anggota band. Sebuah band yang berkat bantuan si Aldo ini, sempet manggung di sebuah acara musik rock internasional yang berlangsung di Jakarta. Band ini juga yang cuma punya sederet kecil prestasi, yang tidak termasuk pernah rilis album. Kenapa? File-file masternya hilang. Klasiklah, masalah-masalahnya.
Konon sih band ini udah malang melintang dari jaman Poster Cafe, ikut festival dan pensi sana-sini, dan seperti banyak band lainnya sempat vakum, gonta-ganti personil. Pernah juga lagunya tembus ke no.1 chart indie sebuah radio Jakarta, dan lagu lain malah nyaris masuk ke kompilasi dari radio tersebut. Yah, banyak nyaris-nyarisnya lah.
Kalau melihat dari sisi profesional gue, yang pernah jadi anak major label, materinya bagus kok. Gak boong. Cuma gak mainstream aja. Dan menurut gue, kalau diaransir sedikit lain dan dinyanyikan orang lain, mungkin bisa jadi lagu pop yang bagus. Nggak akan pernah tau, karena nggak pernah dikerjain.
[Manic Monday] Menghidupkan Kembali Penjualan CD
Penjualan CD album musik dari tahun ke tahun sudah turun semenjak awal abad ke-21. Ini terjadi seiring dengan maraknya penyebaran lagu berbentuk MP3 via internet, melalui layanan-layanan seperti Napster, Kazaa dan sebagainya. Adanya pilihan untuk mengunduh lagu dari internet, dengan ‘hanya’ bermodalkan koneksi internet (atau malah titip teman yang memiliki koneksi internet), sepertinya sangat mempengaruhi kebiasaan beli CD yang sebelumnya ada, sehingga merugikan para perusahaan produsen CD. Para perusahaan rekaman kemudian membidik layanan-layanan tersebut sebagai pembajak, dan meminta mereka menanggung kesempatan penjualan yang hilang karena memfasilitasi penyebaran materi lagu tanpa izin.
Dampak dari turunnya penjualan CD tentunya bukan hanya pada perusahaan rekaman. Skalabilitas produksi CD, yang tadinya diproduksi dengan jumlah sangat banyak, tentunya turun sehingga biaya per CD secara rata-rata naik karena jumlah yang diproduksi lebih sedikit. Padahal harga jual CD album musik akan turun mengikuti permintaan pasar yang turun juga.
Baca selanjutnya di Dailysocial.
English version here.
[Manic Monday] Dunia Digital Yang Berakar Pada Dunia Fisik
Di dunia kita yang seperti semakin digital, tetap saja kita tidak terlepas dari obyek-obyek yang fisik. Kita toh [masih] mempunyai badan yang fisik, bukan dalam bentuk energi atau elektronik, dan masih berinteraksi dengan segala hal fisik juga. Komputer/tablet/handphone yang Anda sedang pegang? Itu adalah jendela Anda melihat ke dalam dunia digital, akan tetapi ‘jendela’ ini masih berbeda-beda untuk setiap orang bentuknya, dan itu pun kalau punya akses. Mungkin Anda sudah bertahun-tahun tidak membeli CD, dan memilih mencari lagu lewat internet (terlepas dari status legal atau tidak)? Tetap saja lagu-lagu tersebut harus dinikmati melalui speaker atau headphone.
Kelangsungan hidup di dunia digital pun sangat tergantung pada akar-akarnya di dunia fisik. Sebuah layanan berita, misalnya, akan sangat tergantung ke banyak faktor untuk tetap bisa menyajikan beritanya setiap detik pada pelanggannya. Server, bandwidth sampai lokasi server pun ada perannya dalam menentukan prestasi. Kepandaian dalam membangun program akan menentukan seberapa banyak device yang dapat membaca berita tersebut, karena berita ini pastinya dibaca melalui ‘jendela-jendela’ yang disebut tadi. Sebuah permainan MMORPG pastinya tidak akan bertahan lama apabila infrastruktur server dan jaringannya tidak baik dan tidak akan dapat mendukung ribuan pengguna bermain pada saat yang sama. Jadi di balik semua hal yang digital yang seolah kita tidak dapat sentuh secara langsung, dan hanya dapat kita lihat melalui ‘jendela’, tetap saja ada sistem pendukung fisik yang memastikan supaya pengalaman digital itu dapat dinikmati dengan baik.
Baca selanjutnya di Dailysocial.
[Manic Monday] Menghindari Digital Hanya Untuk Digital
Kumpul-kumpul diskusi kelompok Musik, Kewirausahaan dan Teknologi yang kedua sukses terlaksana hari Sabtu lalu, menampilkan beberapa diskusi yang menarik, yang digawangi oleh beberapa pembicara yang piawai di bidangnya.Oon sempat bercerita soal pembuatan aplikasi mobile untuk musik, kemudianArian menjelaskan potensi bisnis yang datang dari music merchandising.Bangwin, yang sudah belasan tahun berkecimpung di digital communities, menceritakan beberapa hal yang sebaiknya dilakukan dalam mengelola komunitas fans, dan Ricky Andrey membagikan sesuatu yang menarik: melihat band sebagai startup dari sisi legal.
Tujuan forum ini memang untuk menyediakan tempat diskusi, tukar pendapat dansharing ilmu untuk para pegiat dan pemerhati industri musik, yang mudah-mudahan memberi landasan ilmu dan ide yang sama untuk memajukan industri musik Indonesia secara umum. Semakin banyak orang yang terlibat, baik dari dalam industri maupun dari luar industri, semakin baik, karena semuanya akan menyumbangkan sesuatu pada wacana perkembangan industri musik. Seperti yang telah saya sering ceritakan lewat kolom ini, semakin banyak pihak yang terlibat dalam pengembangan industri musik, semakin baik, dan semakin baik lagi kalau semua pemain ini terhubung dalam sebuah ekosistem yang saling mempengaruhi dan saling menguntungkan. Jadi, ekosistem harus membesar, dan menciptakan situasi yang menganjurkan simbiosis mutualisme antara fans, musisi dan pekerja industrinya.
Baca selanjutnya di Dailysocial.
[Manic Monday] Memberdayakan Musik Dengan Data
Beberapa tahun lalu, jaman saya masih kuliah, saya memiliki sebuah USB thumb drive. Saat itu masih sangat baru dan belum banyak orang memilikinya, sampai saya perlu membawa CD installer drivernya ke mana-mana. Thumb drivetersebut sanggup memuat data sebesar 64 MB, lebih besar dari satu kotak disket yang dahulu selalu saya bawa ke mana-mana, dan pastinya tidak rentan terhadap jamur. Dan hari ini, sepertinya thumb drive ukuran tersebut bahkan sudah tidak dijual; muatan memori 1GB saja biasanya sudah jadi hadiah bonus dan tidak dijual.
Revolusi pertumbuhan penyimpanan data turut mendukung berbagai layanan dan permainan berkembang dan memanfaatkan kemampuan penyimpanan data yang makin besar, seiring dengan makin tingginya kecepatan koneksi internet. Semakin banyak data yang dapat disimpan dan dikomunikasikan – smartphone saja sudah memiliki memori internal standar yang melebihi 64MB. Internet sendiri sudah bukan hanya media penyampaian data, tapi data tersebut sudah diolah berdasarkan keinginan kita. Contoh paling sederhana: mesin pencari akan mencarikan semua halaman web yang sesuai dengan kata-kata kunci yang kita berikan.
Baca lanjutannya di Dailysocial.
[Manic Monday] Mencermati Kembali Royalti
Salah satu pilar utama dari industri-industri yang berbasis hak kekayaan intelektual, adalah royalti. Dalam definisi ini, royalti adalah nilai bagi hasil yang diterima oleh pemilik sebuah hak kekayaan intelektual atau karya, atas penggunaan karya tersebut oleh orang lain; biasanya mengacu terhadap karya cipta lagu. Royalti ini pun dapat sebesar 0% atau 100%, tergantung perjanjian antara pemilik karya dan pihak yang mau mengeksploitasi. Pada intinya, setiap karyanya dipakai, baik itu diduplikasi, disiarkan ataupun digunakan dengan produk lain (yang dinamakan hak sinkronisasi, biasanya untuk iklan, soundtrack film, dan sebagainya), sang pemilik karya akan mendapat bagian, sesuai dengan kesepakatan.
Kata kuncinya, kesepakatan. Terdapat berbagai kesepakatan antara perwakilan pencipta lagu dan perusahaan rekaman mengenai penggunaan lagu untuk rekaman, dan proses pembayaran royalti dari perusahaan rekaman ke perwakilan pencipta lagu (yaitu penerbit musik atau publisher, yang bertindak sebagai semacam perwakilan bisnis/agen untuk komposer/pencipta lagu) adalah proses bisnis sehari-hari, dan nilai royaltinya pun ada kalanya disepakati pada tingkat industri, antar asosiasi perusahaan rekaman dan asosiasi penerbit musik, untuk periode tertentu. Kesepakatan tingkat industri ini gunanya untuk mengurangi proses negosiasi berulang setiap pembuatan album, dan berlaku untuk semua anggota para asosiasi.
baca penjelasan lanjutannya di Dailysocial.
[Manic Monday] Industri Musik “Baru” Membutuhkan Anda!
Minggu lalu saya berkesempatan untuk mengikuti workshop Lean Startup Machine di Singapura, bersama dengan rekan kontributor Dondi Hananto, yang sudah menuangkan pengalaman dia di workshop tersebut. Singkat kata, workshop tersebut merupakan pengalaman yang cukup berharga, yang saya rekomendasikan pada siapapun yang sedang ingin membangun startup sendiri, ingin mempelajari “cara cepat” untuk customer development, atau ingin mendapatkan perspektif lain mengenai membangun bisnis. Tentunya, metode LSM ini hanyalah satu pendekatan yang bisa diambil untuk membangun sebuah bisnis. Tapi saya harap, buat yang ingin terjun ke dunia startup, pikirkan bahwa yang dibangun adalah sebuah bisnis, bukan hanya sebuah program atau aplikasi.
Dalam tiga hari itu, semua peserta dibagi-bagi dalam kelompok dan diminta membuat sebuah konsep bisnis yang sudah memiliki potensi pelanggan, dan mengerucutkan konsep bisnisnya pada pelanggan-pelanggan potensial tersebut. Apakah bisnis yang diajukan menyelesaikan sebuah masalah? Apakah ada calon pelanggan yang bersedia membayar untuk solusi/layanan yang diajukan? Workshop ini bahkan tidak membahas sedikitpun soal programming, manajemen, atau keuangan – intinya adalah, memvalidasi asumsi bahwa konsep bisnis yang diajukan memiliki potensi pelanggan yang bersedia menggunakan layanan/solusi tersebut.
Baca selanjutnya di Dailysocial.
[Manic Monday] Masih Ingat Industri Konten “Lama”?
Satu hal yang tragis dalam kehidupan kita yang kian digital adalah, apapun yang muncul pada kita melalui sebuah ‘layar’ (bisa saja layar TV, komputer ataupun HP) muncul dalam hitungan detik, dan dapat dicari sesuai keinginan. Ada di internet, atau tidak ada sama sekali. Sama sekali tidak ada kondisi peralihan di internet – bahkan layanan yang masih di dalam tahap beta, ya sudah ada, dan Anda tidak akan melihat proses pembangunannya bila tidak melihat secara seksama. Meniru bahan dasarnya yang berupa byte, karena hanya kondisi ‘0’ dan ‘1’ berlaku. Nyala, atau mati. Dan dalam banyak kasus, baik, atau buruk. Di-‘Like’, atau tidak di-‘Like’.
Saya berasal dari generasi yang terburu-buru pulang supaya dapat nonton kartun sore di TV, ya karena tidak ada cara lain untuk menontonnya. Sabtu pagi adalah saat yang ditunggu-tunggu karena rentetan kartun yang dapat ditonton dari pagi sampai jam 10, dan sehari dua hari dalam seminggu ditunggu-tunggu karena penasaran episode apa yang akan disajikan serial TV favorit. Dan tentunya, menonton film adalah acara istimewa – semua orang nonton film baru pada saat yang kurang lebih sama, dan pasti akan menjadi topik pembicaraan di antara teman-teman.
Baca selanjutnya di Dailysocial.