[Manic Monday] Strategi Produksi Konten Di Era Multilayar
Hari ini, mungkin sudah lumrah untuk kebanyakan orang di daerah urban, dengan koneksi internet yang memadai, untuk menikmati konten dari paling tidak dua layar sekaligus di satu saat. Saat kita berada di meja kerja, mungkin kita sedang berhadapan dengan komputer, tapi partner bisnis kita ngobrolnya via instant messaging di smartphone. Saat kita di rumah, sering sekali kita, sambil menonton film di TV, tetap browsing di HP, laptop atau tablet mengenai film tersebut, atau malah melihat yang lain sama sekali. Di beberapa gedung perkantoran, bahkan ada TV yang menayangkan berita, yang biasanya kita dengarkan sambil tetap melihat HP kita. Kita memang sudah hidup di dunia multilayar.
Mayoritas konten yang kita nikmati melalui layar-layar media digital tersebut ituon-demand, sesuai yang kita inginkan. Hanya dengan semudah memasukkan beberapa kata kunci pencarian di Youtube, kita dapat menonton kucing-kucing menari sepuasnya. Layanan musik seperti iTunes dan Spotify menyediakan lagu apapun yang kita inginkan, dan iBooks atau Kobo menawarkan berbagai buku digital sesuai minat kita. Walaupun memang banyak media masih menawarkan model penyebaran informasi yang distribusinya berkala, dan bukan berdasarkan permintaan, perusahaan-perusahaan media tersebut lambat laun beradaptasi ke basis konsumen yang sudah cenderung bergerak ke on-demand.
Baca selanjutnya di Dailysocial.
[Manic Monday] Berkurangnya Peran Lagu Sebagai Komoditas
Dalam berbagai artikel yang sudah saya tulis di sini selama hampir dua tahun, adalah pergeseran-pergeseran dalam industri musik, terutama yang berhubungan dengan lagu itu sendiri. Industri musik [rekaman] yang sudah berjalan puluhan tahun memang menempatkan penggandaan sebuah rekaman lagu untuk dijual sebagai intinya, baik itu dalam format vinyl, kaset, CD ataupun media digital. Hukum-hukum berbagai negara bahkan sampai tingkat internasional di WIPO sudah dirancang untuk melindungi industri penggandaan ini. Dalam konteks ini, rekaman lagu adalah komoditi.
Mungkin saya tidak perlu mengulas ulang apa yang terjadi ketika rekaman lagu bertemu dengan media digital dan internet dalam waktu yang hampir sama, yang nyaris menihilkan makna dari bisnis penggandaan rekaman lagu. Transfer lagu dari media CD ke dalam format MP3 bisa dilakukan siapa saja, dan juga disebar dengan mudah melalui internet, sehingga kontrol ketat yang dibutuhkan dalam bisnis yang mengandalkan penggandaan satu barang menjadi hilang. Sayangnya, pergeseran teknologi dan kebiasaan ini bukannya diteliti baik-baik oleh industri musik rekaman, tapi malah diserang dengan dasar pembajakan, sampai hari ini.
Baca selanjutnya di Dailysocial.
[Manic Monday] Membongkar Kunci Di Balik Hak Cipta
Kemarin, saya semalaman berusaha untuk melakukan jailbreak pada sebuah perangkat iPhone 4 yang diberikan oleh kakak saya yang tinggal di Jepang, karena beliau sudah menggantinya dengan iPhone yang lebih baru. Ini bukan pertama kalinya saya mendapat telepon selular turunan dari kakak saya; beberapa tahun sebelumnya saya mendapatkan sebuah iPhone 3G yang akhirnya berhasil saya jailbreak sendiri supaya bisa menggunakan kartu operator lain. Semua telepon selular di Jepang memang dikunci ke operator yang menjualnya, sehingga jailbreak tetap perlu. Karena sudah pernah melakukanjailbreak, saya pikir, harusnya ini mudah toh?
Ternyata saya salah – iPhone 4 yang awalnya digunakan kakak saya sepertinya tidak bisa di jailbreak, karena suatu dan lain hal. Pilihannya hanya meminta ke Softbank untuk membuka kuncinya (yang menurut kabar, mereka tidak akan mau), atau menggunakan jasa berbayar pihak ketiga yang entah bagaimana dapat membuka kunci (yang sampai saat ini saya masih agak ragu kebenarannya). Jadi untuk saat ini, sebuah iPhone 4 yang secara fungsi dan penampilan masih bagus, tidak dapat digunakan sesuai fungsinya. Semua karena sebuah kunci. Fungsi kuncinya, akhirnya untuk apa?
Baca selanjutnya di Dailysocial.
English version here.
[Manic Monday] Menyokong Pencipta Lagu Dan Penerbit Musik Dengan Teknologi
Salah satu bagian terpenting – dan seringkali tak diketahui umum – dari industri musik adalah pencipta lagu dan penerbit musik. Yang seringkali tampak di layar kaca maupun konser-konser besar adalah para musisi dan artis, padahal sebenarnya belum tentu lagu yang mereka nyanyikan adalah ciptaan mereka. Memang banyak juga artis dan musisi menulis lagu-lagunya sendiri, tapi banyak juga yang menuliskan lagu untuk orang lain, fokus untuk menciptakan lagu saja dan bukan untuk menjadi entertainer. Ada pula, anggota sebuah band yang piawai menciptakan lagu, sehingga ia menciptakan lagu untuk dinyanyikan orang lain juga.
Menjadi pencipta lagu, atau komposer, itu sudah menjadi profesi, yang kalau dirunut sejarah sudah ada dari jaman klasik. Walaupun beberapa kalangan mungkin membedakan istilah ‘pencipta lagu’ dan ‘komposer’, esensinya sama, bahwa mereka menggubah kumpulan nada-nada menjadi sebuah bentuk ekspresi, terkadang dengan lirik lagunya juga (walaupun kadang penulis lirik lagu itu berbeda dengan pencipta lagunya). Dan seiring jalannya waktu, makin banyaknya pencipta lagu menjadikan perlunya ada pihak yang dapat mewakili, paling tidak untuk manajemen bisnisnya. Dibentuklah profesi dan organisasi yang sekarang kita kenal sebagai penerbit musik (publisher).
Baca selanjutnya di Dailysocial.
English version here.
Selamat Tinggal, Blackberry
Dari foto yang gue unggah, harusnya udah cukup jelas. Kalau flagship device bisa sampe didiskon 2 juta – di situs Bhinneka yang harganya cenderung lebih mahal dari situs e-commerce lain – pastinya minat sudah sangat turun.
Bandingkan dengan harga Q5 baru di Lazada. Kok sama ya harganya.
Dua hari lalu gue menghentikan langganan layanan BB di HP Blackberry bokap gue, karena toh dia uda nggak pake email, nggak pake BBM dan hanya terkadang pake Whatsapp. Buat apa jadinya keluar uang RP 100 ribu/bulan? Jadinya gue ganti ke langganan paket data biasa aja, ada yang Rp 25 ribu/bulan, dengan menyalakan setting APN koneksi data biasa (asal BBnya unlock, harusnya bisa, tinggal masukin setting APNnya sesuai operator).
Pasti nggak cuma gue doang yang menghentikan layanan BB. Pasti banyak juga yang akhirnya melepaskan BBnya untuk diganti dengan iPhone atau Android. Keunggulan layanan BB yang kita rasakan 5 tahun lalu, sudah tidak unggul lagi, dan jadi malah mahal, dengan handphone yang praktis ketinggalan jaman juga.
Lantas siapa yang rela mengganti BB lamanya dengan BB10 terbaru? Yang pasti tidak banyak. Karena kalau sekilas lihat orang sekitar di food court mall, pengguna BB – yang bisa dibilang adalah kelas menengah ngehe yang emang kerjaannya ke mall, termasuk gue – kalau bukan masih menggunakan BB lama (dan biasanya nunggu rusak, baru diganti), sudah beralih ke smartphone lain.
Kasian ya Blackberry.
[Manic Monday] Teknologi Di Balik Lomba Lari
Belakangan ini, Indonesia seperti diserbu oleh tren lari. Lari seolah-olah menjadi ‘hal baru untuk keren’ yang diikuti, meski juga tidak sedikit yang sebenarnya senang akan olahraga ini, dan pastinya tren ini dampaknya jauh lebih bagus ke masyarakat secara umum ketimbang tren, misalnya, makan di restoran cepat saji atau menghabiskan waktu di waralaba 24 jam serba ada, karena tren ini mengadvokasi hidup sehat.
Berbagai komunitas, program dan perlombaan dalam setahun terakhir sudah mulai digelar seputar lari, dan adanya berbagai perlombaan lari ini sudah lebih menjadi sorotan masyarakat. Para pemilik brand berlomba-lomba untuk berinteraksi dengan para pelari ini, untuk mempromosikan minuman energi atau isotonik terbaru, peralatan olahraga terbaru, atau berupaya mengasosiasikanbrandnya dengan cara hidup sehat.
Baca selanjutnya di Dailysocial.
English version here.
[Manic Monday] Pengaruh Kesenjangan Digital Terhadap Layanan Digital
Kesenjangan digital adalah sebuah keadaaan di mana akses terhadap koneksi internet dan semua layanan yang tersedia melalu internet tidak merata. Pusat-pusat pemerintahan dan perdagangan, k0ta-kota besar di seluruh dunia mungkin semuanya sudah menikmati akses internet, tetapi masih banyak daerah di dunia yang masih belum terjangkau, terutama daerah-daerah pedesaan. Kondisi ini seperti dilema telur dan ayam, berhubung investasi untuk membangun jaringan ke pelosok itu cukup mahal, tapi potensi pengguna internet di daerah-daerah tersebut masih kecil. Ini sebabnya banyak program ‘internet masuk desa’ itu didukung oleh pemerintah ataupun program-program independen seperti yang dilakukan Google.
Negara-negara di dunia berkembang seperti Indonesia cukup beruntung, karena banyak yang nyaris tidak mengalami tahap di mana akses ke internet itu hanya dapat dilakukan melalui jaringan telepon. Ketergantungan pada jaringan telepon berkabel, seperti yang dialami di negara-negara maju di Amerika Utara dan Eropa, hanya dialami mungkin 10 tahun, sebelum masuknya akses internet nirkabel melalui jaringan telekomunikasi selular.
Baca selanjutnya di Dailysocial.
[Manic Monday] Pentingnya Simbiosis Antara Konten Dan Teknologi
Industri musik [rekaman] dan industri-industri konten lainnya bukan sebuah industri yang memiliki ilmu yang cukup pasti. Apabila dibandingkan dengan berbagai industri konsumsi lain, seperti bahan bakar minyak atau produk konsumen (FMCG atau rokok) yang potensi penjualannya dapat terukur dari survei konsumen, FGD sampai penawaran ke distributor. Hampir semua tahap pengembangan produk konsumen sudah terbentuk menjadi proses dan ilmu, dari riset, pengembangan produk, tes pasar hingga penjualan bebas. Berhubung industri konten merupakan sebuah industri yang menggantungkan keputusan pembelian terhadap sesuatu yang subyektif, sesuatu yang sebelumnya diterima pasar dengan baik, belum tentu akan diterima dengan baik lagi di masa datang.
Diterimanya sebuah konten itu sangat tergantung pada sebuah hubungan emosional yang dipancing oleh konten tersebut. Hubungan emosional ini dapat berupa apa saja: enak didengar sehingga membuat orang yang mendengarnya bahagia; mengingatkan suatu kenangan, atau bahkan ‘hanya’ berupa landasan supaya diterima di sebuah kelompok.
Baca selanjutnya di Dailysocial.
[Manic Monday] IVR Mungkin Masih Relevan Untuk Hiburan Digital
IVR, singkatan dari Interactive Voice Response, sebenarnya adalah teknologi yang cukup lama, dan mungkin pernah Anda pakai tanpa sadar. Biasanya sistem IVR ini digunakan oleh layanan pelanggan via telepon, yang berupa rekaman suara manusia mengikuti menu tertentu, yang bisa diakses dengan memencet tombol angka telepon. Sistem IVR akan merekam nada DTMF yang keluar (tiap tombol telepon memiliki nada DTMF sendiri, untuk angka 0-9 dan tanda * dan #), dan mememanggil menu yang sesuai dengan pilihan pelanggan. Misalnya: tekan 1 untuk informasi produk, tekan 2 untuk pemesanan, dan seterusnya. Nah, sudah pernah kan?
Yang mungkin belum diketahui banyak orang adalah, layanan IVR ini sudah banyak digunakan untuk hiburan digital, bahkan dari awal tahun 2000-an. Di masa itu, ada beberapa perusahaan membuka nomor premium (biasanya berkepala 0809) untuk menjual ringtone dan wallpaper. Caranya dengan mempromosikan berbagai kode download pada media massa, misalnya angka 12345 untuk lagu /Rif.
Baca selanjutnya di Dailysocial.
[Manic Monday] Esensi Budaya Modern Indonesia Dalam Produk Digital
Mayoritas warga Indonesia tumbuh dengan mengenyam pendidikan di SD, yang salah satunya mengajarkan beragamnya budaya di Indonesia. Masing-masing propinsi memiliki kekayaan budaya yang sangat beragam, karena suku-suku bangsa yang hidup di daerah tersebut pasti memiliki keragaman sendiri untuk bahasa, makanan, pakaian dan tari. Keragaman budaya ini diajarkan sebagai salah satu kekayaan Indonesia yang perlu dilestarikan, meskipun wujud praktisnya – paling tidak untuk anak umur SD – adalah menghafalkan tarian dan menggunakan baju tradisional daerah pada pawai hari Kemerdekaan.
Walau memang keragaman budaya kita merupakan kekuatan dan aset – yang dengan manajemen yang baik, dapat menghidupi sebuah sektor industri tersendiri — Indonesia mengalami krisis identitas. Hal ini terlihat jelas pada komunikasi soal potensi wisata Indonesia di dalam iklan – seolah-olah masih belum bisa lepas dari Bali, wayang, batik; padahal banyak kekayaan budaya lain yang belum digali dan dioptimalkan untuk menjadi obyek wisata.
Baca selanjutnya di Dailysocial.