Archive | April 2015

Saya Tidak Punya Pemutar CD

2014615210014

Karena tergugah atas tulisan Abang Edwin dan Widi Asmoro, saya jadi ingin ikut cerita.

Sebagai seseorang yang sudah terlibat dalam industri musik sejak tahun 2004, saya mempunyai fakta yang mungkin saja mencengangkan, mungkin saja tidak, tergantung cara melihatnya: saya tidak memiliki pemutar CD. Tapi, seperti biasanya, kita melangkah ke belakang sedikit melihat konsumsi produk rekaman saya seperti apa.

Saya lahir di rumah yang senang mendengarkan musik; Ibu saya pemain gitar, lantas ketertarikan musik tersebut tertular ke kakak saya dan saya sendiri. Kemampuan bermusik kami bukan pada tingkatan bisa jadi pemain profesional, tapi cukup untuk bersenang-senang (uniknya, kami tidak pernah bernyanyi-nyanyi bersama di rumah). Salah satu film favorit keluarga adalah The Sound Of Music, dan semenjak kecil kami sudah memiliki koleksi kaset yang cukup banyak, dan pemutar kaset yang double tape deck with dubbing. Alias, bisa rekam-rekam kaset lagi, dari kaset satu ke kaset lain yang kosong.

Saat saya SMP, sekitar tahun 1993, saya meminta Ayah saya membelikan sebuah Discman. Discman ini merupakan pemutar CD pertama dan terakhir saya, namun koleksi CD saya bertumbuh kembang terus sejak itu. Suatu saat Discmannya rusak, namun pada saat itu, mendengarkan CD dari komputer sudah cukup lumrah. Dengan uang saku pas kuliah, saya tetap menyisakan uang untuk membeli beberapa CD bekas, padahal sebenarnya uangnya nggak cukup (dan pernah sampai harus menjual semua CD tersebut lagi).

Memasuki masa kerja, karena bekerja di perusahaan rekaman, akses saya ke CD juga berlipat ganda – bisa tukeran CD sample dengan rekan dari perusahaan rekaman lain. Lebih menyenangkan lagi adalah, saya bekerja di perusahaan rekaman terbesar di dunia – yang tadinya saya hanya punya sekian puluh CD, jadinya sekarang memiliki sekian ratus. Ini di luar CD-CD impor yang sengaja dicari di berbagai tempat dan berbagai negara yang saya kunjungi. Di meja kantor memang ada CD player – perusahaan rekaman macam apa yang tidak menyediakan CD player untuk meja pegawainya – tapi kalau di rumah, CD-CD ini dinikmati dari komputer, dari DVD player, atau ya duduk cantik di rak.

Walaupun kepemilikan CD saya mungkin bisa dibilang di atas rata-rata orang Indonesia, tetap saja saya tidak memiliki pemutar CD. Semenjak semakin mudah mendengarkan musik dari komputer, dan kemudian ke pemutar musik ataupun handphone, CD-CD ini nyaris tak tersentuh. Lagu-lagu yang ingin saya dengarkan biasanya di-rip ke iTunes, dan saya pindahkan ke gadget apapun yang sedang saya pakai saat itu. Atau ya lebih mudah lagi, beli langsung di iTunes Store, atau yang lebih mutakhir lagi, mendengarkan lagu dari Spotify, Rdio atau Ohdio.FM.

Sampai sekarang saya masih terkadang membeli CD, biasanya karena versi digitalnya belum ada yang legal, atau memang ingin mendukung si pemusik, atau ya memang pengen koleksi CDnya. Dan CD tersebut, setelah di-rip, akan masuk lemari atau teronggok di rak. Ada juga malah, saya sudah beli CDnya tapi lupa taro di mana, dan begitu ada di iTunes saya memilih beli lagi saja.

Jadi saya, seorang penikmat musik, yang mengikuti berbagai perkembangan industri musik secara bisnis maupun teknologi, dan merasa memiliki kedekatan dengan industrinya dan karya yang dihasilkan, praktis tidak membeli CD lagi. Lantas, penjualan CD ini untuk siapa? Ya mungkin saja yang dikejar angka ship out besar, supaya perusahaan rekaman dan artis dapat uang. CD sampai di pendengar ya urusan lain. Kalau memang begini pemikirannya, dan tidak memperhatikan end user habit, ya pantas saja penjualan CD susah terus.