Archive | November 2013

[Manic Monday] Membongkar Kunci Di Balik Hak Cipta

Kemarin, saya semalaman berusaha untuk melakukan jailbreak pada sebuah perangkat iPhone 4 yang diberikan oleh kakak saya yang tinggal di Jepang, karena beliau sudah menggantinya dengan iPhone yang lebih baru. Ini bukan pertama kalinya saya mendapat telepon selular turunan dari kakak saya; beberapa tahun sebelumnya saya mendapatkan sebuah iPhone 3G yang akhirnya berhasil saya jailbreak sendiri supaya bisa menggunakan kartu operator lain. Semua telepon selular di Jepang memang dikunci ke operator yang menjualnya, sehingga jailbreak tetap perlu. Karena sudah pernah melakukanjailbreak, saya pikir, harusnya ini mudah toh?

Ternyata saya salah – iPhone 4 yang awalnya digunakan kakak saya sepertinya tidak bisa di jailbreak, karena suatu dan lain hal. Pilihannya hanya meminta ke Softbank untuk membuka kuncinya (yang menurut kabar, mereka tidak akan mau), atau menggunakan jasa berbayar pihak ketiga yang entah bagaimana dapat membuka kunci (yang sampai saat ini saya masih agak ragu kebenarannya). Jadi untuk saat ini, sebuah iPhone 4 yang secara fungsi dan penampilan masih bagus, tidak dapat digunakan sesuai fungsinya. Semua karena sebuah kunci. Fungsi kuncinya, akhirnya untuk apa?

Baca selanjutnya di Dailysocial.

English version here.

[Manic Monday] Perang Terhadap DRM Mungkin Sudah Dimenangkan, Tapi…

Salah satu hal yang pertumbuhannya paling pesat di awal abad ke-21, seiring dengan perkembangan internet, adalah penyebaran berkas lagu MP3. Penyebaran berkas MP3 ini makin meruncingkan masalah pembajakan CD yang sudah mulai lebih dahulu, dan seolah menyebabkan turunnya pemasukan para perusahaan rekaman. Teknologi CD yang semula sulit digandakan oleh siapa saja, terbongkar dengan makin umumnya perangkat CD writer dan software yang bisa membuat duplikat CD. Begitu ada berkas MP3, yang distribusinya tidak bisa dimonitor maupun dikendalikan, masalah ‘pembajakan’ seperti makin parah.

Pada awal industri musik digital yang legal, layanan seperti iTunes diwajibkan oleh para perusahaan rekaman untuk memberlakukan standar DRM, digital rights management. Teknologi DRM ini adalah upaya untuk mengontrol penyebaran berkas lagu digital yang semula tidak bisa dilakukan, untuk memastikan lagu-lagu yang dijual lewat toko musik online tertentu hanya dapat digunakan sesuai batasan-batasan yang ditentukan oleh para perusahaan rekaman. Misalnya: hanya dapat disalin ke paling banyak lima komputer, tidak dapat disalin ke komputer lain (kecuali yang sudah diotorisasi oleh akun pembelian yang sama), dan seterusnya. Namun hasil penerapan maupun tanggapan pasar terhadap teknologi ini beragam.

Baca selanjutnya di Dailysocial.

English version here.

Pilih Sendiri Petualangan [Musik]mu

(ini adalah repost dari artikel yang pernah naik di aldosianturi.com, taun 2011 silam, yang mungkin masih relevan).

Saya (ceritanya) anggota band. Sebuah band yang berkat bantuan si Aldo ini, sempet manggung di sebuah acara musik rock internasional yang berlangsung di Jakarta. Band ini juga yang cuma punya sederet kecil prestasi, yang tidak termasuk pernah rilis album. Kenapa? File-file masternya hilang. Klasiklah, masalah-masalahnya.

Konon sih band ini udah malang melintang dari jaman Poster Cafe, ikut festival dan pensi sana-sini, dan seperti banyak band lainnya sempat vakum, gonta-ganti personil. Pernah juga lagunya tembus ke no.1 chart indie sebuah radio Jakarta, dan lagu lain malah nyaris masuk ke kompilasi dari radio tersebut. Yah, banyak nyaris-nyarisnya lah.

Kalau melihat dari sisi profesional gue, yang pernah jadi anak major label, materinya bagus kok. Gak boong. Cuma gak mainstream aja. Dan menurut gue, kalau diaransir sedikit lain dan dinyanyikan orang lain, mungkin bisa jadi lagu pop yang bagus. Nggak akan pernah tau, karena nggak pernah dikerjain.

Read More…

[Manic Monday] Menghidupkan Kembali Penjualan CD

Penjualan CD album musik dari tahun ke tahun sudah turun semenjak awal abad ke-21. Ini terjadi seiring dengan maraknya penyebaran lagu berbentuk MP3 via internet, melalui layanan-layanan seperti Napster, Kazaa dan sebagainya. Adanya pilihan untuk mengunduh lagu dari internet, dengan ‘hanya’ bermodalkan koneksi internet (atau malah titip teman yang memiliki koneksi internet), sepertinya sangat mempengaruhi kebiasaan beli CD yang sebelumnya ada, sehingga merugikan para perusahaan produsen CD. Para perusahaan rekaman kemudian membidik layanan-layanan tersebut sebagai pembajak, dan meminta mereka menanggung kesempatan penjualan yang hilang karena memfasilitasi penyebaran materi lagu tanpa izin.

Dampak dari turunnya penjualan CD tentunya bukan hanya pada perusahaan rekaman. Skalabilitas produksi CD, yang tadinya diproduksi dengan jumlah sangat banyak, tentunya turun sehingga biaya per CD secara rata-rata naik karena jumlah yang diproduksi lebih sedikit. Padahal harga jual CD album musik akan turun mengikuti permintaan pasar yang turun juga.

Baca selanjutnya di Dailysocial.

English version here.

Egoisme Sebagian Pengendara Motor Di Jakarta

image

Tadi pagi, karena gue ada meeting di Kuningan, gue berangkat lewat Mampang yang tiap pagi selalu macet. Tapi hari ini, tak seperti biasanya ada antrian bis panjang di jalur busway menuju Kuningan, dan semakin menumpuk. Semula gue kira ada bis mogok, atau – mudah-mudahan bukan –  kecelakaan, tapi ternyata dugaan gue keduanya salah.
Pas melewati bis pertama dalam antrian, ternyata di depannya ada beberapa pengendara motor sibuk mengangkat motornya melalui divider jalan (yang tingginya lumayan, mungkin 50 cm), sehingga menghalangi para bis yang di jalur busway untuk lewat. Mungkin awalnya ada banyak motor yang melakukan ini, karena antrean cukup panjang. Mungkin mereka menghindari polisi yang menunggu di ujung jalan, sehingga melakukan itu. Dan karena itu, mereka merugikan orang-orang yang naik bis karena bis harus mengantre menunggu mereka menghindari tilang.

image

image

Terus, udah tau jalur busway harusnya nggak boleh dimasukin, sampai diberi pembatas tinggi dan gerbang; kenapa masih dilakukan?

(diedit dengan foto yang diperbesar)

[Manic Monday] Melihat Taktik Teknologi Di Balik Film 3D

Selama beberapa tahun ini, film 3D sudah cukup sering tayang di berbagai belahan dunia; bahkan film-film action dan blockbuster sudah hampir pasti ada versi 3Dnya untuk dinikmati penonton. Harga tiket nonton sebuah film 3D sangat bervariasi, tergantung tiap negara, tapi biasanya lebih mahal dari film yang ditayangkan dengan cara biasa (2D). Dan meski ada perbedaan harga ini, minat menonton film 3D, paling tidak di daerah urban, cukup tinggi, setidaknya terlihat dari animo masyarakat menikmati film 3D, bahkan untuk tiket semahal IMAX 3D sekalipun.

Yang menarik dari tren film 3D ini, adalah teknologi di baliknya. Proses produksi film 3D tidaklah mudah, karena paling tidak membutuhkan kamera khusus, atau proses pasca produksi khusus hingga dapat menjadi format yang dapat didistribusikan dengan mudah ke seluruh dunia. Film 3D kini menggunakan media digital, bukan film lagi, namun mempergunakan sistem digital rights managementkhusus sehingga tidak akan bisa dibuka di sembarang komputer. Dan proyektor digital film 3D juga khusus, karena membutuhkan lampu proyektor yang jauh lebih terang (dan jauh lebih mahal), dan memiliki kemampuan memproses proyeksi gambar yang sangat kuat, karena gambar yang diproyeksikan dari file tadi beresolusi tinggi, dan berisi beberapa teknik khusus supaya memberikan efek 3D yang diinginkan.

Baca selanjutnya di Dailysocial.

English version here.