Archive | July 2013

[Manic Monday] IVR Mungkin Masih Relevan Untuk Hiburan Digital

IVR, singkatan dari Interactive Voice Response, sebenarnya adalah teknologi yang cukup lama, dan mungkin pernah Anda pakai tanpa sadar. Biasanya sistem IVR ini digunakan oleh layanan pelanggan via telepon, yang berupa rekaman suara manusia mengikuti menu tertentu, yang bisa diakses dengan memencet tombol angka telepon. Sistem IVR akan merekam nada DTMF yang keluar (tiap tombol telepon memiliki nada DTMF sendiri, untuk angka 0-9 dan tanda * dan #), dan mememanggil menu yang sesuai dengan pilihan pelanggan. Misalnya: tekan 1 untuk informasi produk, tekan 2 untuk pemesanan, dan seterusnya. Nah, sudah pernah kan?

Yang mungkin belum diketahui banyak orang adalah, layanan IVR ini sudah banyak digunakan untuk hiburan digital, bahkan dari awal tahun 2000-an. Di masa itu, ada beberapa perusahaan membuka nomor premium (biasanya berkepala 0809) untuk menjual ringtone dan wallpaper. Caranya dengan mempromosikan berbagai kode download pada media massa, misalnya angka 12345 untuk lagu /Rif.

Baca selanjutnya di Dailysocial.

[Manic Monday] Menjual Produk HaKI Sepaket Dengan Produk Lain

Relevansi model bisnis yang mengandalkan keuntungan dari penggandaan sudah sangat terkikis berhubung penggandaan lewat medium digital bisa dilakukan dengan mudah dan nyaris tanpa biaya tambahan, oleh siapa saja. Ini tidak berarti model bisnis ini akan hilang, tapi hanya berarti bahwa siapapun yang menjalankan model bisnis ini perlu lebih cermat dalam membuat produknya dan merencanakan distribusinya.

Ada yang mencoba sistem kontrol seperti DRM, ada juga yang membuat produk-produk fisik eksklusif dengan jumlah terbatas. Tapi perlahan, banyak perusahaan yang mulai meninggalkan ‘ketergantungan’ pada penggandaan. Ada beberapa layanan musik yang mengontrol akses ketimbang menawarkan download, seperti sebutlah Spotify, Deezer dan Rdio. Salah satu cara lain untuk mengembangkan pemasukan alternatif untuk perusahaan-perusahaan yang berbasis HaKI adalahbundling.

Baca selanjutnya di Dailysocial.

Pentingnya Infrastruktur Seni Dan Sejarah Seni Untuk Membentuk Sesuatu Yang ‘Indonesia Banget’

Gue salah satu orang yang cukup beruntung dapat mengenyam pendidikan seni dan desain secara formal di Fakultas Seni Rupa & Desain ITB. Masuknya konon susah, dan gue mungkin ‘curang’ karena pas sebelum ujian masuknya yang didominasi menggambar, gue ikut yang namanya Puslat Mekar, semacam kursus kilat menggambar arsitektur buat yang pengen masuk ke Artistektur Universitas Parahyangan. Tapi nggak pernah tau sih kriteria masuk ke FSRD ITB sebenarnya apa; konon katanya yang dicari yang namanya agak aneh. Hahaha.

Anyway. Di sana kami diberikan pelajaran soal seni – sedikit soal konsep, sedikit soal sejarah, dan sedikit juga soal seniman-seniman dalam dan luar negeri. Jadi informasi ini ada untuk kita serap, karena infrastruktur pendidikan seninya ada. Pendukung kegiatan seni pun ada; FSRD ITB ada ruang galeri sendiri, dan kalau perlu semua studio di gedung fakultas bisa disulap jadi ruang pameran.

Ruang pameran ini yang menjadi kunci, kenapa gue merasa beruntung ketimbang orang lain. Meskipun ketertarikan dan skill gue ke seni murni sedikit, paling tidak gue bisa melihat berbagai karya dari teman sendiri, seniman yang sudah lebih terkenal, dan mendapatkan pengetahuan yang lebih rinci soal keberadaan ruang-ruang pameran dan art spaces yang ada di Indonesia (setidaknya di Bandung dan Jakarta).

Read More…

[Manic Monday] Esensi Budaya Modern Indonesia Dalam Produk Digital

Mayoritas warga Indonesia tumbuh dengan mengenyam pendidikan di SD, yang salah satunya mengajarkan beragamnya budaya di Indonesia. Masing-masing propinsi memiliki kekayaan budaya yang sangat beragam, karena suku-suku bangsa yang hidup di daerah tersebut pasti memiliki keragaman sendiri untuk bahasa, makanan, pakaian dan tari. Keragaman budaya ini diajarkan sebagai salah satu kekayaan Indonesia yang perlu dilestarikan, meskipun wujud praktisnya – paling tidak untuk anak umur SD – adalah menghafalkan tarian dan menggunakan baju tradisional daerah pada pawai hari Kemerdekaan.

Walau memang keragaman budaya kita merupakan kekuatan dan aset – yang dengan manajemen yang baik, dapat menghidupi sebuah sektor industri tersendiri — Indonesia mengalami krisis identitas. Hal ini terlihat jelas pada komunikasi soal potensi wisata Indonesia di dalam iklan – seolah-olah masih belum bisa lepas dari Bali, wayang, batik; padahal banyak kekayaan budaya lain yang belum digali dan dioptimalkan untuk menjadi obyek wisata.

Baca selanjutnya di Dailysocial.

[Manic Monday] Lisensi Musik Untuk Layanan Digital

Menjalankan bisnis yang melisensikan sesuatu untuk layanan-layanan digital tidaklah mudah. Pertama, karena dasar hukum bisnis lisensi tergantung pada perlindungan hak kekayaan intelektual, yang nyatanya sangat tergantung pada keseriusan pemerintah setempat dalam pelaksanaannya; terlebih lagi adanya perbedaan regulasi di setiap negara, meski berbagai upaya untuk menstandarkannya melalu badan-badan seperti WIPO sudah dilakukan. Bisnis lisensi juga intinya adalah bisnis yang berdasarkan izin, yang bergantung pada kontrol dan kepercayaan – dua hal yang sulit ditegakkan di ranah internet.

Musik adalah salah satu hal yang sangat rumit untuk dilisensikan ke ranah digital. Dalam satu rekaman suara lagu saja, ada dua hak inti yang terkandung di dalamnya, yaitu: hak atas rekaman suaranya sendiri (yang berkait dengan proses rekaman, produser, artis, sound engineer, pemain musik, penyanyi latar, dan sebagainya), dan hak karya cipta lagu (yang terkait ke ciptaan lagunya sendiri, sang pencipta lagu/komposer). Pada awal maraknya layanan digital, banyak perusahaan rekaman harus merevisi semua kontrak-kontraknya dengan para artisnya, yang sebelumnya hanya mencantumkan distribusi musik melalui kaset, CD dan piringan hitam, untuk memasukkan berbagai format digital yang sudah maupun belum diciptakan.

Baca selanjutnya di Dailysocial.