Archive | March 2014

[Manic Monday] Tantangan Pemasaran Konten Budaya Indonesia

Hari Sabtu malam saya menyempatkan diri menonton pertunjukan Wayang Orang Rock Ekalaya, yang diselenggarakan di gedung Tennis Indoor Senayan. Pertunjukan ini menggabungkan cerita soal Ekalaya dan Drona, guru Pandawa Lima, dengan lagu-lagu rock dalam negeri maupun mancanegara. Secara musikal, artistik panggung sampai jalan cerita, pertunjukan ini menggabungkan berbagai unsur wayang orang dengan budaya musik rock. Di atas kertas, konsep yang sangat menarik dan sangat Indonesia, mengingat bahwa selain wayang memang bagian dari budaya Indonesia, budaya Indonesia modern tak jauh dari musik rock juga.

Pertunjukan menarik ini, entah kenapa, sepi peminat, walaupun didukung oleh berbagai band rock Indonesia, dengan konsep yang relatif unik. Pertunjukannya sendiri mulai 20.30, 30 menit lebih telat daripada jadwal (cukup wajar, karena sering ada toleransi waktu antara waktu yang diumumkan dan waktu mulai sebenarnya), hanya saja untuk acara yang kuat di dialog, struktur gedung Tennis Indoor sendiri tidak mendukung sehingga banyak bagian dialog sangat bergema sampai saya tidak mengerti apa yang dikatakan. Tata suara pun serasa tidak maksimal, mungkin karena saya duduk di tribun. Dan akhirnya karena sampai jam 22.30 pertunjukan belum selesai dan saya sudah terlampau lelah, akhirnya pulang tanpa menunggu akhir.

Baca selanjutnya di Dailysocial.

Ranting On Jakarta’s Traffic

Jakarta’s incomprehensible traffic has just about become world-popular, but would you like a local’s perspective?

I live in Jakarta. I’d like to think (and be grateful) that I live particularly well-off, smack in the middle of the so-called Indonesian middle class. I have a car that’s fully paid off, married and living with my parents-in-law in a decidedly upscale area near Jalan Bangka, Kemang [And yes, in Indonesia, it’s quite normal for multiple families living under one roof, even in the upscale areas]. But this isn’t the tale I want to convey.

Jakarta, and by extension Indonesia, is a car salesman’s dream. Similar to the LA, the only practical way to get around the city is by private vehicle, be it a car or a motorcycle (more on that later). There are bus routes, but the buses are in really bad condition, not to mention hunting grounds for pickpockets. To go from my home to my office in the Bulungan area, around 3km away, would take me changing buses and walking a lot, compared to a 20-minute ride on a car or motorcycle. I’d like to think I’m not lazy, but I hate to waste time, and avoid walking too much. Remember, Jakarta is a tropical city, where crossing the road can make you sweat from the humidity.

Read on at Medium.

[Manic Monday] Dekonstruksi Budaya Pop Melalui Layanan Streaming

Sebelum masa internet, alur budaya modern, atau lebih tepatnya budaya pop, bisa dibilang sangat linier. Ada yang disebut musik ‘masa lalu’, ada yang baru, ada yang progresif, ada yang retro, dan sebagainya. Berbagai genre dan label diusung musik dari seluruh dunia, biasanya untuk mempermudah orang lain mengkomunikasikan soal musik ke orang lain di saat belum bisa didengarkan. Misalnya: papasan dengan teman di jalan, dan cerita soal band bernama Led Zeppelin. Tanpa label dan genre tadi, pasti sulit untuk menjelaskan musik Led Zeppelin seperti apa, apalagi di masa belum ada pemutar musik yang portabel. Sekarang, tinggal memberikan tautan YouTube atau mendengarkan dari HP teman.

Adanya musik ‘baru’ dan ‘lama’ tentunya sangat penting bagi sebuah industri musik rekaman, yang bisa dibilang hanya dapat menjual produknya sekali ke orang yang sama, apalagi jika dibandingkan dengan perusahaan-perusahaanfast-moving consumer goods yang menjual sabun, shampoo dan makanan siap saji. Pengulangan pembelian ke perusahaan yang sama hanya akan terjadi apabila ada produk baru, sehingga siklus media promosi musik pun dibentuk untuk terus mempromosikan yang baru, dan menggeser yang lama. Pola ini timbul bukan saja di musik, tapi di berbagai industri: film, fashion, buku, dan sebagainya.

Baca selanjutnya di Dailysocial.